Plastik - Televisi - Keringat
Plastik kini lagi naik pamor. Budi memandang seksama teman seperjuangannya di kamar sebelah. Sang kawan sedang memandang lamat-lamat piring gunungan nasi yang telah matang. Di sebelahnya, piring yang bergerombol beras-beras utuh. Bulir yang putih bersih, sebersih susu yang baru diperah majikannya. "Kenapa kayak orang bego?" tanya Budi dengan sedikit membentak. Sang kawan menoleh cepat, "Saya cuma ragu Bud, ragu sekali." Budi yang semakin bingung, ikut duduk disebelah kawannya. "Lihat lamat-lamat ini beras dan nasi, karena dua hal inilah aku jadi bingung." jelasnya yang tetap saja membingungkan. "Saya baru beli ini beras Bud, dari pasar sebelah, entah bagaimana saya bisa ragu. Padahal nasih sudah jadi ini. Ragu untuk dimakan." lanjut sang kawan dengan mantap. Budi semakin mengerti arah pembicaraan absurd pagi ini.
Sudah hampir sebulan lamanya, media televisi menggelontorkan isu hangat tentang plastik. Ya, plastik lantas naik daun dengan cepat. Pamornya melejit bak bintang youtube yang langsung masuk infotaiment. Hingga tayangan dan berita jadi tidak bermutu. Semakin tidak bermutu, karena plastik dikait-kaitkan dengan beras. Semakin melucu, tidak ada laboratorium manapun yang berani mengungkap dengan benar beras plastik itu benar, atau tidak. Orang-orang mengatakan itu kiriman dari Tiongkok. Budi sempat menggeleng-geleng saja, negeri ini sudah gila. "Lalu jadi kau makan tidak itu kawan nasinya?" sang kawan masih khusuk menimang-nimang tindakan selanjutnya. "Kalau saya makan, kau juga ikut makan kan Bud?" Budi tertawa sekeras mungkin. Dia menyadari, temannya sudah sedikit gila.
Lauk telor ceplok dan kecap manis sudah disedikan segera. Mereka sudah bulat-bulat memutuskan akan memakan nasi itu sampai habis. Sisa beras dimasukkan lagi dalam kantong plastik hitam. Mereka makan dengan lahapnya. "Kau tahu maksudku kan Bud?", "Ya, tentu, beras plastik sudah menggeser akal sehat, ini kiriman tiongkok? Seperti Bus Way saja, apa benar pemerintah setega itu melahirkan isu. Kekejaman mereka sudah mengerikan keringat-keringat petani." sang kawan mengangguk setuju, lantas membalas, "Tuhan tidak tidur kawan, keringat petani telah dihargai dengan pahala, tak terlihat, namun di akhirat mereka selamat. Entah mengapa pejabat tinggi negeri ini begitu tega. Jika saja beras plastik itu nyata, sudah lama aku memakan buah plastik juga." Budi menoleh ke arah sang kawan dan tertawa lepas. Menyemburkan semua nasi yang sedang dikunyahnya. "Dasar gila kau kawan!"
Cerita ini terinspirasi dari banyaknya isu tentang beras plastik yang beredar di masyarakat. Seperti biasa, cerita pendek atau cerpen ini menggunakan 3 kata kunci. Yaitu Plastik - Televisi - Keringat. Silahkan baca tips menciptakan cerpen menarik dengan 3 kata kunci yang sudah saya tuliskan.
Plastik kini lagi naik pamor. Budi memandang seksama teman seperjuangannya di kamar sebelah. Sang kawan sedang memandang lamat-lamat piring gunungan nasi yang telah matang. Di sebelahnya, piring yang bergerombol beras-beras utuh. Bulir yang putih bersih, sebersih susu yang baru diperah majikannya. "Kenapa kayak orang bego?" tanya Budi dengan sedikit membentak. Sang kawan menoleh cepat, "Saya cuma ragu Bud, ragu sekali." Budi yang semakin bingung, ikut duduk disebelah kawannya. "Lihat lamat-lamat ini beras dan nasi, karena dua hal inilah aku jadi bingung." jelasnya yang tetap saja membingungkan. "Saya baru beli ini beras Bud, dari pasar sebelah, entah bagaimana saya bisa ragu. Padahal nasih sudah jadi ini. Ragu untuk dimakan." lanjut sang kawan dengan mantap. Budi semakin mengerti arah pembicaraan absurd pagi ini.
Sudah hampir sebulan lamanya, media televisi menggelontorkan isu hangat tentang plastik. Ya, plastik lantas naik daun dengan cepat. Pamornya melejit bak bintang youtube yang langsung masuk infotaiment. Hingga tayangan dan berita jadi tidak bermutu. Semakin tidak bermutu, karena plastik dikait-kaitkan dengan beras. Semakin melucu, tidak ada laboratorium manapun yang berani mengungkap dengan benar beras plastik itu benar, atau tidak. Orang-orang mengatakan itu kiriman dari Tiongkok. Budi sempat menggeleng-geleng saja, negeri ini sudah gila. "Lalu jadi kau makan tidak itu kawan nasinya?" sang kawan masih khusuk menimang-nimang tindakan selanjutnya. "Kalau saya makan, kau juga ikut makan kan Bud?" Budi tertawa sekeras mungkin. Dia menyadari, temannya sudah sedikit gila.
Lauk telor ceplok dan kecap manis sudah disedikan segera. Mereka sudah bulat-bulat memutuskan akan memakan nasi itu sampai habis. Sisa beras dimasukkan lagi dalam kantong plastik hitam. Mereka makan dengan lahapnya. "Kau tahu maksudku kan Bud?", "Ya, tentu, beras plastik sudah menggeser akal sehat, ini kiriman tiongkok? Seperti Bus Way saja, apa benar pemerintah setega itu melahirkan isu. Kekejaman mereka sudah mengerikan keringat-keringat petani." sang kawan mengangguk setuju, lantas membalas, "Tuhan tidak tidur kawan, keringat petani telah dihargai dengan pahala, tak terlihat, namun di akhirat mereka selamat. Entah mengapa pejabat tinggi negeri ini begitu tega. Jika saja beras plastik itu nyata, sudah lama aku memakan buah plastik juga." Budi menoleh ke arah sang kawan dan tertawa lepas. Menyemburkan semua nasi yang sedang dikunyahnya. "Dasar gila kau kawan!"
Cerita ini terinspirasi dari banyaknya isu tentang beras plastik yang beredar di masyarakat. Seperti biasa, cerita pendek atau cerpen ini menggunakan 3 kata kunci. Yaitu Plastik - Televisi - Keringat. Silahkan baca tips menciptakan cerpen menarik dengan 3 kata kunci yang sudah saya tuliskan.